Senin, 28 Desember 2009

Problematika Gender dan Pendidikan
Dalam deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap
orang berhak mendapatkan pengajaran … pengajaran harus dengan cuma-cuma,
setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar. Pengajaran harus
mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan
antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan
kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya ketika pendidikan bukan hanya
dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan
bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan
demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di
masyarakat.
Statement di atas mengemuka dikarenakan telah terjadi banyak ketimpangan
gender di masyarakat yang diasumsikan muncul karena terdapat bias gender
dalam pendidikan. Diantara aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam
pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya
kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam
buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam
kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang
menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada
pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar
bagi siswa belum bernuansa neutral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi
kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender
dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen
Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan
yaitu akses, partisipasi, proses pembelaran dan penguasaan.
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai.
Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang
pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap
wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa
yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan
masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan
anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’
tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan
pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi
dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.
Faktor yang kedua adalah aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor
bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, di
mana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama
perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk
memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah
sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas,
maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak-anak laki-laki. Hal ini
umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan
berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari
nafkah.
Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, bahwa sampai
tahun 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan sekitar 6,5 tahun
dibandingkan anak laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun 2003, penduduk
perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84 persen. Sedangkan
penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf sebesar 6,52 persen.
Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan. Namun yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa walaupun
perempuan hanya bergerak di arena domestik dan tugasnya adalah mendidik
anak dan menjaga kesejahteraan keluarga, ia tetap harus berilmu untuk tugas itu.
Stereotype gender yang berkembang di masyarakat kita yang telah mengkotakkotakkan
peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki.
Dalam pembangunan pendidikan masih terjadi gejala pemisahan gender (gender
segregation) dali.ii jurusan atau program studi sebagai salah sum bentuk
diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination') ke dalam bidang
keahlian dan selanjutnya pekerjaan yang berlainan. Hal ini disebabkan oleh nilai
dan sikap yang dipengaruhi faktor-fdlctor sosial budaya masyarakat yang secara
melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan.
Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi
domestik, sementara itu anak diharapkan berperan dalam menopang ekonomi
keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras,
teknologi dan industri.
Sementara pada aspek ketiga yaitu aspek proses pembelajaran masih juga
dipengaruhi oleh stereotype gender. Yang termasuk dalam proses pembelajaran
adalah materi pendidikan, seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh
soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas namakan laki-laki. Dalam aspek
proses pembelajaran ini bias gender juga terdapat dalam buku-buku pelajaran
seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti Camat, Direktur
digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender,
yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah
tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci.
Aspek yang terakhir adalah aspek penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta
huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..
Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10
tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85
persen adalah perempuan (Betty D. Sinaga : Fokal Point Gender Depdiknas : 2003).

STRATEGI PEMASARAN

Segmentasi:

Segmentasi yang dilakukan perusahaan :

  • segmentasi demografi: produk-produk perusahaan kami dikhususkan bagi kaum muslim. Produk kami dirancang untuk kaum muslim yang telah bisa melakukan ibadah yaitu untuk umur 5 tahun keatas.

  • Segmentasi psikologi: karena produk kami memiliki cirri khas yang telah disebutkan diatas, maka konsumen akan merasakan kenyamanan saat melakukan ibadah. Sehingga ibadah yang mereka lakukan bisa berjalan dengan khusu’ dan nikmat.

Penerapan posisi bersaing lini produk:

  • Pembelian: pembelian dilakukan oleh konsumen baik loyal maupun tidak, sebagai target utama dan sebagai basis dalam pencapaian tujuan peamasaran.

  • Manufacturing: dilakukan oleh bagian produksi perusahaan yang bekerja sama dengan industri tekstil kualitas tinggi. Hal ini guna mendapatkan hasil produk yang berkualitas tinggi pula.

  • Penjualan: dilakukan oleh bagian marketing, namun setiap anggota organisasi berhak melkukan penjualan yang disertai dengan promosi.

4

  • Keuangan: diatur oleh bagian financial. Untuk menjaga kelayakan keuangan perusahaan, bagian keuangan harus memiliki kejujuran yang tinggi, ketelitian, serta emosional yang stabil.

  • Sumber daya manusia: merupakan tenaga kerja yang memiliki potensi yang baik agar kinerja perusahaan berjalan dengan baik pula. Karena SDM merupakan induk dari struktur organisasi perusahaan. Tanpa adanya SDM dalam perusahaan, sebuah perusahaan tidak akan berjalan.

Dengan dukungan perusahaan seperti disebutkan diatas dalam penempatan posisi bersaing lini, maka penerapan perusahaan telah efektif.


PROGRAM TINDAKAN


Rincian program pemasaran:

  • Menjalankan segmentasi pemasaran sesuai ketentuan agar tujuan perusahaan berjalan sesuai jalur.

  • Membandingkan prosedur pemasaran perusahaan dengan peusahaan pesaing untuk mengoreksi hal-hal yang belum ada atau tidak ada dalam pemasaran.

  • Menjalin hubungan kerja dengan pihak yang menguntungkan bagi perusahaan.

  • Mencari informasi tentang keberadaan prospek, serta informasi waktu adanya prospek.

  • Mencari informasi tentang kelemahan, dan keunggulan perusahaan pesaing.

Rincian program pemasaran ini merupakan syarat tercapainya tujuan bisnis perusahaan, agar bisa menjadi perusahaan peralatan sholat terbaik. Karena dengan melihat kelemahan dan kelebihan perusahaan dan perusahaan pesaing, perusahaan bisa mencari peluang-peluang yang dapat mengembangkan perusahaan.

STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESI GURU
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sikapnya (Thompson, 1993). Sedangkan Darnelawati (1994) berpendapat bahwa pendidikan formal adalah pendidikan di sekolah yang berlangsung secara teratur dan bertingkat mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat. Tujuan pendidik adalah untuk memperkaya budi pekerti, pengetahuan dan untuk menyiapkan seseorang agar mampu dan trampil dalam suatu bidang pekerjaan tertentu.
Menurut Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha atau aktivitas untuk membentuk manusia-manusia yang cerdas dalam berbagai aspek, baik aspek intelektual, sosial, emosional maupun spiritual, terampil serta berkepribadian serta dapat berprilaku berdasarkan akhlak mulia. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan diharapkan dapat terwujunya kualitas manusia yang baik dalam seluruh dimensi, baik dimensi intelektual, emosional, maupun spiritual yang pada akhirnya mampu mengisi kehidupannya secara produktif bagi kepentingan dirinya maupun masyarakat.
Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat. Oleh karena itu pendidikan harus mampu memandang kearah yang luas mengenai peran-peran utama yang akan dimainkan oleh pedidikan dan pembelajaran dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum, tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan siswa untuk belajar. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru. Jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru dan pemerintah berupaya agar guru benar-benar professional, sehingga mampu mengantisipasi tantangan-tantangan yang ada dalam dunia pendidikan.
B. Strategi Pengembangan profesi guru
Profesi pendidik merupakan profesi yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, hal ini disebabkan posisi pendidikan yang sangat penting dalam konteks kehidupan bangsa. Pendidik merupakan unsur dominan dalam suatu proses pendidikan, sehingga kualitas pendidikan banyak ditentukan oleh kualitas pendidik dalam menjalankan peran dan tugasnya di masyarakat.
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara lembaga pendidikan yang menyediakan layanan sebagai pencetak guru dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena berbagai pertimbangan.
Mengembangkan profesi tenaga pendidik bukan sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Untuk itu pencermatan lingkungan dimana pengembangan itu dilakukan menjadi penting, terutama bila faktor tersebut dapat menghalangi upaya pengembangan tenaga pendidik. Pengembangan profesi tenaga pendidik pada dasarnya hanya akan berhasil dengan baik apabila dampaknya dapat menumbuhkan sikap inovatif. Sikap inovatif ini akan makin memperkuat kemampuan profesional tenaga pendidik. Menurut Prof Idochi diperlukan tujuh pelajaran guna mendorong tenaga pendidik bersikaf inovatif serta dapat dan mau melakukan inovasi. Ketujuh pelajaran itu adalah sebagai berikut :
1. Belajar kreatif
2. Belajar seperti kupu-kupu
3. Belajar keindahan dunia dan indahnya jadi pendidik
4. Belajar mulai dari yang sederhana dan konkrit
5. Belajar rotasi kehidupan
6. Belajar koordinasi dengan orang profesional
7. Belajar ke luar dengan kesatuan fikiran
Ketujuh pelajaran di atas merupakan pelajaran penting bagi tenaga pendidik dalam upaya mengembangkan diri sendiri menjadi orang profesional. Dalam kaitan ini, ketujuh pelajaran tersebut membentuk suatu keterpaduan dan saling terkait dalam membentuk tenaga pendidik yang profesional dan inovatif.
Belajar kreatif adalah belajar dengan berbagai cara baru untuk mendapatkan pengetahuan baru, belajar kreatif menuntut upaya-upaya untuk terus mencari. Dalam hal ini bercermin pada kupu-kupu amat penting, mengingat kupu-kupu selalu peka dengan sari yang ada pada bunga serta selalu berupaya untuk mencari dan menjangkaunya. Dengan belajar yang demikian, maka sekaligus juga belajar tentang keindahan dunia, dan bagian dari keindahan dunia ini adalah keindahaan indahnya jadi pendidik. Pendidik adalah perancang masa depan siswa, dan sebagai perancang yang profesional, maka tenaga pendidik menginginkan dan berusaha untuk membentuk peserta didik lebih baik dan lebih berkualitas dalam mengisi kehidupannya di masa depan.
Untuk dapat melakukan hal tersebut di atas, maka tenaga pendidik perlu memulainya dari hal yang kecil dan konkrit, dengan tetap berfikir besar. Mulai dari yang kecil pada tataran mikro melalui pembelajaran di kelas, maka guru sebagai tenaga pendidik sebenarnya sedang mengukir masa depan manusia, masa depan bangsa, dan ini jelas akan menentukan kualitas kehidupan manusia di masa yang akan datang. Dalam upaya tersebut pendidik juga perlu menyadari bahwa dalam kehidupan selalu ada perputaran atau rotasi, kesadaran ini dapat menumbuhkan semangat untuk terus berupaya mencari berbagai kemungkinan untuk menjadikan rotasi kehidupan itu sebagai suatu hikmah yang perlu disikapi dengan upaya yang lebih baik dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik.
Dalam upaya untuk memperkuat ke profesionalan sebagai tenaga pendidik, maka diperlukan upaya untuk selalu berhubungan dan berkoordinasi dengan orang profesioanal dalam berbagai bidang, khususnya profesional bidang pendidikan. Dengan cara ini maka pembaharuan pengetahuan berkaitan dengan profesi pendidik akan terus terjaga melalui komunikasi dengan orang profesional, belajar koordinasi ini juga akan membawa pada tumbuhnya kesatuan fikiran dalam upaya untuk membengun pendidikan guna mengejar ketinggalan serta meluruskan arah pendidikan yang sesuai dengan nilai luhur bangsa.
C. Kesimpulan dan Saran

Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi hal yang sangat penting. Pendidikan menuntut adanya profesional bagi tenaga kependidikan (guru) sebagai ujung tombak dalam pendidikan itu sendiri.

Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi lebih banyak diakibatkan oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan yang menyediakan layanan sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru, PGRI dan masyarakat.

Daftar Pustaka
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.

Anwar, HM. Idochi dan YH Amir (2001). Administrasi Pendidikan, Teori, Konsep, dan Isu, Program Pascasarjana. UPI





Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu; (1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya. Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan. Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru. Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua berubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.

Kesimpulan dan Saran
1. Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
2. Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
3. Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Daftar Rujukan
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.

[ Kembali ]


Dalam perkembangan yang demikian pesatnya mutu pendidikan menjadi prioritas utama dalam me­nyimak setiap perubahan, sehingga secara langsung atau tidak langsung profe­sionalisme guru sedang teruji. Orang bijak menya­takan pendidikan itu adalah perhiasan di waktu senang dan tempat berlindung di waktu susah. Untuk meningkatkan pro­fesionalisme guru dikutip dalam jurnal Taskif H.M. Idris: 2004, dibutuhkan peran serta semua pihak untuk saling memberikan keteladanan sehingga guru yang belum profcesional menjadi profcsion­al dan yang sudah profe­sional menjadi lebih profesional. Paling tidak ada cmpat (4) program yang dapat dijadikan strategi meningkatkan profesion­alisme guru, yaitu:
1). Program Pre Service Education yaitu upaya meningkatkan profesion­alisme dengan penyarin­gan yang selektif terhadap calon guru dengan mcm­perhatikan kualitas dan moralnya. Negeri ini bu­tuh pegawai berkualitas, bukan pegawai kacangnn yang lolos karena KKN mereka yang masuk se­cara tidak jujur ketika pros­es seleksi, dalam kerja kesehariannya kelak keju­juran itu akan terbawa sehingga tidak ubahnya mereka adalah calon ko­ruptor masa datang. Negeri ini harus bebas dari korupsi, karena itu rekrutlah orang-orang yang lewat seleksi yang adil dan transparan.
2). Program In Service Education yeitu memoti­vasi guru agar dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi melalui pendidikan lanjutan. Tentu hal ini berangkat dari guru yang bersangkutan dalam artian lembaga sekolah mengusahakan agar para guru mendap­atkan kesempatan untuk belajar yang lebih tinggi baik melalui program beasiswa atau atas inisiatif sendiri. Guru harus didor­ong untuk meningkatkan pengetahuannya tentang perkembangan masalah­masalah pendidikan, un­tuk menghindari kemu­ngkinan bahwa guru akan ketinggalan dari kema­juan-kumajuan dibidang pendidikan. Karena itu guru wajib memperbarui dan meningkatkan pendidikannya untuk mempertinggi taraf keprofe­sionalnya.
3). Program In Service Training yaitu suatu aktiv­itas yang berupa pelati­han-pelatihan, penataran, workshop, kursur-kursus, seminar, diskusi atau mimbar, baik yang dilakukan oleh intrn kelem­bagaan atau ekstrn kelem­bagaan. Tentunya tidak hanya sebatas menjadi­kan pelatihan, pelatihan dan seminar tetapi perla dipikirkan bagaimana format suatu kegiatan agar menjadi lebih efektif. Se­lain itu organisasi profesi PGRI hendaknya menye­diakan majalah Ilmiah atau jurnal kepandidikan untuk memuat tulisan guru untuk pengembangan kreativitas dan kemam­puan guru.
4). Program On Service Training yaitu melalui keg­iatan tindak lanjut atau Fol­low Up yang dilakukan den­gan mengadakan perte­muan berkala atau rutin diantara para guru dan agar selalu memelihara hubun­gan sejawat keprofesian, semangat kekeluargaan dan kesetiakwanan sosial.
Mengingat guru merupa­kan salah satu faktor pent­ing dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan maka pemerintah perlu memperhatikan kesejah­teraan dari hidup mereka dengan memberikan gaji tambahan atau tunjangan kesejahteraan karena den­gan gaji yang memadai akan dapat meningkatkan motivasi serta konsentrasi pada kegiatan mendidiknya. Lagipula jika penghasilan guru membaik maka gen­erasi muda akan tertarik menjadi guru dan akan mendapat tempat di hati masyarakat, paling tidak, sosok guru tidak lagi dilecehkan gara-gara lemah eko­nominya.
Se­tiap profesi menuntut adan­ya suatu standar kompeten­si, standar moral dan tan­ggunjawab sosial tertentu yang wajib dijaga agar kredibilitas profesi tersebut di mata masyarakat tetap baik. Dan dalam urusan jen­jang kenaikan pangkat para guru-guru tidak terjebak pada administrasi birokrasi, dengan liku-liku permainan yang sesunggu­hnya bertentangan dengan prinsip pendidikan. Dalam hal ini kalau petugas dapat dibeli maka segala upaya meningkatkan status kepro­fesionalan profesi guru akan gagal
Sebaiknya hendaknya pemerintah lebih berkosentrasi pada sistem manajemen pendid­iknn dan orang yang men­jadi manajer institusi pendidikan serta peningkatan kualitas guru. Sehingga profil guru dapat represen­tatif sebagai yang mampu mengajar, mem­bimbing dan mendidik anak bangsa. (Terima Kasih)


Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu; (1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.